PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Masyarakat
Jepang merupakan masyarakat homogen,baik secara rasial maupun secara budaya,sebagaimana
dinyatakan oleh Nakane (1920) “menekankan ciri homogenitas atau satu ras”.Bangsa
Jepang juga memiliki kebudayaan yang unik dan beranekaragam jenisnya kebudayaan
tersebut mencakup;festival,upacara,kesenian,makanan,upacara dan sebagainya.
Menurut Koentjaraningrat (1990:180) menekankan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Di dalam konsep kebudayaan tersebut mencakup
tujuh unsur universal, yakni; sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan,sistem pengetahuan, bahasa,kesenian,sistem mata
pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan.Salah satu bagian dari sebuah
kebudayaan adalah religi.Salah satu aspek religi adalah ritual.Ritual adalah
segala sesuatu yang dihubungkan dengan upacara keagamaan.Oleh karena itu,
ritual erat kaitanya dengan sebuah upacara menurut agama dan kepercayaan
tertentu. Di Jepang, terdapat lebih dari 200.000 organisasi keagamaan, dan
mayoritas berorientasi pada agama Shinto
dan Buddha. Kedua agama ini memiliki penganut yang paling mendominasi di Jepang
sejak lebih dari 10 abad yang lalu.
Shinto (神道) adalah kepercayaan
yang mengacu pada animisme serta dipercayai merupakan agama asli bangsa Jepang.
Kata Shinto berasal dari tulisan Cina
Shen Tao yang berarti Jalan Ketuhanan
(The Way Of Kami). Di dalam Hemp Culture in Japan (2007), disebutkan
bahwa arti dari Jalan Ketuhanan ini merupakan sebuah ekspresi ritual dari
sebuah rasa hormat kepada kami (神) wujud Tuhan dalam
bentuk roh) dalam kehidupan sehari-hari. Kesucian dan kesuburan menjadi hal
yang terpenting di dalam ajaran Shinto.Shinto
memiliki banyak sekali upacara dan
perayaan (matsuri). Dalam menjalankan
upacara atau perayaan tersebut, terdapat
ritual-ritual tertentu dalam pelaksanaannya. Dalam kepercayaan Shinto, ritual memiliki tujuan untuk
mengusir roh-roh jahat melalui penyucian dan doa. Shinto dikarekteristikan dengan perayaan dan festival dengan tujuan
untuk hidup dalam pertalian dengan alam, memuja kami dan melakukan ritual penyucian.Perayaan
–perayaan tersebut dihubungkan dengan kalender tahunan.
Aktivitas
keagamaan yang dilaksanakan di kuil Shinto
menggambarkan perubahan musim dan kebanyakan di antaranya berhubungan
dengan kegiatan menanam dan memanen
padi. Perayaan ini ,masih diadakan di berbagai kuil, bersamaan dengan upacara
penyucian tahun baru dan tengah tahun untuk menyucikan polusi tubuh dan jiwa.
Beberapa kuil mengadakan upacara tahunan, seperti upacara Mame-maki (豆撒き)
yang diselenggarakan pada festival Setsubun (節分)
yang merupakan upacara untuk menyambut musim semi dan mengusir pengaruh
roh jahat.
PEMBAHASAN
Pada
awal tahun, setiap tanggal tiga atau empat Februari diadakan festival Setsubun
(節分) di seluruh pelosok
Jepang, jatuh pada akhir periode yang ditetapkan oleh kalender matahari, yaitu
masa daikan (hari terdingin dalam
musim dingin).Setsubun (節分) memiliki adalah
tradisi mengusir oni (鬼),sejenis jin dalam dongen Jepang. Setsubun (節分) secara harafiah memiliki artipembagian musim yakni pada hari pertama datangnya musim
semi (haru春),
musim panas (natsu夏), musim gugur (aki秋),
dan musim dingin (fuyu冬). Istilah “Setsubun” digunakan untuk menyebut hari sebelum datangnya musim
semi (risshun), sedangkan hari-hari
Setsubun (節分) yang lain terlupakan.
Risshun( 立春) sangat erat sekali dengan awal musim
semi.Tahun baru Cina biasanya dirayakan sekitar periode ini.Para petani sering
kali merayakan upacara .risshun( 立春) dengan mengadakan
acara-acara special, pemujaan dan persembahan kepada Tuhan, serrta untuk
kebahagiaan dan kemakmuran.
Sosnoski
(1996:09) menjelaskan tentang Setsubun
(節分) sebagai berikut:
Aslinya, jika dilihat berdasarkan kalender Cina, Setsubundimulai pada awal musim semi seperti namanya. Dengan
menyeruka “ setan diluar, kebahagiaan didalam”, hal ini bukan hanya sekedar
upacara doa, tetapi juag merupakan harapan akan sebuah awal yang baru.
Menurut
Inokuchi (1993 :71), upacara dalam Setsubun
(節分) yang merupakan
upacara asli Negara Cina yang disebut Tsuina
(追儺) (Zhuino atau Chui No) yang merupakan upacara mengusir roh jahat
sejak dinasti Zhuo (Chuo) (1027
SM-256 SM), dan merupakan upacara yang dilandasi oleh kepercayaan agama Buddha yang kemudian
pada abad ke-9 diadaptasi oleh bangsa Jepang. Tsuina atau biasa disebut dengan Oni-yarai atau Oni-oi,
adalah sebuah perayaan tahun tahunan yang dimulai pada zaman pemerintahan
Kaisar Monmu (697-708 SM) dan dirayakan di halaman utama kerajaan.
Ritual Mame-maki (豆撒き) Dalam Setsubun (節分)
Menurut Inokuchi
(1993 :71), kaitan festival Setsubun
(節分) dengan upacara Mame-maki telah ada sejak zaman Muromachi (室町) (1333-1568). Upacara ini berkaitan
dengan upacara Tsuina (追儺) yang berasal dari Zhuo Cina.Mame-maki (豆撒き) (upacara
melempar kacang) merupakan upacara yang paling umum diadakan pada festival Setsubun.Kepercayaan orang Jepang bahwa
jika melempar kacang pada hariSetsubun
(節分) akan menjauhkan
ketidakberuntungan dan mendatangkan kemakmuran untuk semua anggota keluarga
sepanjang tahun tersebut. Ritual pelemparan kacang juga diadakan di rumah-rumah
orang Jepang.Para anggota keluarga melaksanakan Mame-maki(豆撒き)
dengan tujuan untuk mengusir roh jahat dan bibit-bibit ketidakberuntungan,
serta harapan agar diberkahi kesehatan dan kelancaran bagi usaha mereka.Mame (豆) diletakkan dalam sebuah masu (mangkuk kayu(升)) yang kemudian akan dilemparkan ke
seluruh ruangan sambil meneriakkan “Oni
wa soto! Fuku wa uchi!(鬼は外!
福は内!)”yang artinya “Keluarlah
roh jahat!, Masuklah keberuntungan!”.Disini juga terdapat unsur Shinto pada
penyebutan kata-kata tersebut, yakni unsur norito (doa). Anggota yang lahir
pada zodiak atau shiodimana tahun ini
berlangsung, memegang peranan sebagai toshi
otoko (年男) dan melempar kacang
di seluruh bagian rumah. Biasanya kacang dilempar dua kali pada arah yang
berlawanan.Pada masa sekarang ini, orang tidak terlalu memperhatikan kea rah
mana mereka melempar kacang.Satu-satunya arah yang dianggap sebagai arah yang
paling tidak beruntung bagi orang Jepang adalah timur laut yang biasa disebut
dengan kimon (鬼門) (gerbang roh jahat).
Setelah
pelemparan kacang, terdapat kebiasaan memakan kacang.Anggota keluarga boleh
mengambil kacang sesuai dengan usia mereka pada tahun tersebut dengan harapan
memakan kacang dapat membawa keberuntungan selama satu tahun. Hal ini
berhubungan dengan kepercayaan tentang yakudoshi
(厄年), yaitu kepercayaan
mengenai usia yang dianggap kurang beruntung, yakni usia dua puluh lima, empat
puluh dua, dan enam puluh bagi laki-laki, sedangkan wanita pada usia sembilan
belas dan tiga puluh tiga tahun. Diantara usia tersebut, usia yang dianggap
paling tidak beruntung bagi wanita adalah tiga puluh tiga tahun sedangkan
laki-laki empat puluh dua tahun. Pada usia ini disebut juga daiyaku (usia yang paling tidak
beruntung). Biasanya terdapat kebiasaan bagi orang-orang yang dianggap berada
pada usia yang dianggap kurang beruntung, yaitu, mengambil kacang sebanyak
mungkin sejumlah usia mereka, kemudian membungkusnya bersamaan dengan beberapa
koin dalam selembar kertas putih, setelah itu melemparkannya ke jalan raya. Tindakan
ini dipercaya dapat menjauhkan mereka dari segala kesulitan selama tahun
tersebut. Pada masa sekarang ini, hal yang berkaitan dengan kebiasaan
masyarakat Jepang pada hari Setsubun
yaitu, memasang ranting pohon hiiragi
(柊) dengan menusukkan
kepala ikan sardine (iwashi (鰯)) yang telah dibakar
dan bawang putih di ranting hiiragi
tersebut. Hal ini juga merupakan asal-muasal upacara melempar kacang (Mame-maki (豆撒き)) kea rah yang dianggap kurang
beruntung dengan tujuan untuk mengusir roh jahat (鬼) lebih dikenalnya dengan sebutan namahage (なまはげ) salah satu jenis festival pengusiran
roh jahat.
Pada
tanggal tiga atau empat Februari setiap tahunnya, seluruh kuil Shinto (jinja(神社))
di Jepang mengadakan festival Setsubun(節分).Upacara
yang paling umum dilaksanakan pada festival Setsubun adalah Mame-maki (豆撒き) upacara melempar kacang.Pelaksanaan
upacara Mame-maki itu sendiri
memiliki pengaruh dan unsur-unsur yang didasari oleh kepercayaan Shinto.
Pengaruh
Shinto yang terdapat pada upacara Mame-maki (豆撒き)
yakni ditemukan pada unsur-unsur penting upacara menurut kepercayaan
Shinto, yaitu; penyucian (harai (払い)),persembahan( shinsen(神饌)),doa (norito(祝詞)),
dan pesta simbolik (naorai (直礼)), beberapa benda atau alat yang digunakan yang memiliki pengaruh Shintodi dalamnya. Upacara pelemparan
kacang dan ritual panahan yang dilaksanakan sebelum upacara pelemparan kacang,
termasuk kedalam jenis ritual yaku-barai(厄払い),yakni ritual
penyucian yang bertujuan untuk menetramkan kami yang membawa pengaruh buruk
atau lebih sering disebut roh jahat. Oleh karena itu diadakan penyucian harai (払い) untuk menjauhkan segala pengaruh buruk
yang dibawa oleh oni(鬼).
Pengaruh buruk tersebut dapat
dikatan juga sebagai kotoran (tsumi).Yang
disebut dengan kekotoran adalah penyakit, baik itu penyakit yang disebabkan
karena hukuman kami神,
kekotoran karena terkontak fisik, dan pengaruh buruk yang dibawa oleh roh
jahat. Mame yang digunakan pada uipacara utama, serta busur (hamaya(破魔矢)) dan anak panah (hamayumi(破魔弓))
yang digunakan pada ritual panahan, juga mendapat pengaruh Shinto di dalamnya. Sebelum
pelaksanaan upacara Mame-maki,
dipersembahkan beberapa objek seperti; gomei,mame,sake,dan
anak panah (hamayumi) di atas meja
dengan tujuan untuk dipersembahkan kepada kami.Dalam
pengunaan objek-objek tersebut terkandung pula pengaruh unsur-unsur dari Shinto di dalamnya.Pada sesi terakhir
upacara Mame-maki, setelah pelemparan
kacang di berbagai kuil para peserta upacara akan dibagikan sake, mochi, teh, dan mame, bahkan anak
panah (hamayumi) untuk dipersembahkan
di kamidana, untuk dimakan dan dibawa
pulang untuk dibagikan kepada anggota keluarga yang lain. Hali ini merupakan
tindakan naorai menurut Shinto.
Berikut ini adalah gambar perayaan setsubun :
Oni sedang kesakitan
dilempari kacang, lukisan karya KatsuhikaHokusai.




Gambar:
topeng
oni(setan(鬼)),fukumame(kacang/kedelai
bakar(福豆)),ehomaki(sushi
rol panjang (恵方巻))
Tradisi
Setsubun
Setsubun yang dikenal di Jepang sebagai upacara
perayaan tradisonal,yang biasanya dirayakan pada hari sebelum musim semi
dimulai dan upacara ini sebagai tanda
musim dingin yang panjang telah berakhir.
Melempar kacang
Kacang kedelai yang sudah disangrai matang dilempar-lemparkan ke arah
pemeran "oni".Tradisi melempar kacang merupakan perlambang keinginan
bebas dari penyakit dan selalu sehat sepanjang tahun. Oni korban lemparan
kacang dipercaya akan lari karena kesakitan.Upacara Mame-maki (melempar kacang) yang
memiliki tujuan mirip-mirip di kuil agama Buddha dan Shinto. Kacang yang
dilempar-lemparkan biasanya adalah kedelai, tapi sering diganti dengan kacang
tanah.
Kacang
dilempar-lemparkan sambilmengucapkan mantera "Oni wa soto, fuku wa
uchi" (Oni ke luar, keberuntungan ke dalam). Di beberapa daerah
yang memiliki kuil yang dipercaya ditinggali oni, mantera dibalik menjadi
"Oni wa uchi, fuku wa soto (Oni ke dalam, keberuntungan ke
luar), atau kedua-duanya diminta masuk ke dalam. Di rumah yang ditinggali orang
yang memiliki nama keluarga dengan aksara kanji "Oni" (鬼) seperti "Onizuka"
atau "Kitō," mantera juga
tidak mengusir "Oni" ke luar.Di sekolah-sekolah dasar, upacara
melempar kacang dilakukan murid berusia 12 tahun. Anak-anak yang berusia 12
tahun memiliki shio yang sama dengan shio untuk tahun itu. Kuil agama
Buddha dan Shinto yang bekerjasama dengan taman kanak-kanak dan tempat
penitipan anak mengadakan
upacara melempar kacang oleh chigo (anak-anak kecil yang dirias)
dan miko (pelayan wanita). Kuil besar mengadakan acara melempar
kacang yang dilakukan atlet dan orang terkenal.Bungkusan kacang keberuntungan
dilemparkan ke tengah-tengah khalayak ramai untuk ditangkap atau dipungut.
Makan sushi
Di daerah Kansai terdapat tradisi makan sushi yang disebut ehōmaki (sejenis futomaki yang belum dipotong-potong).Sushi dimakan tanpa
berhenti sambil menghadap ke arah mata angin tempat bersemayam dewa keberuntungan untuk tahun
tersebut.Sushi dipegang dengan kedua belah tangan dan orang yang sedang makan
dilarang berbicara sampai sushi habis dimakan.

Gambar :kepala
sarden sebagai jimat
Di
beberapa daerah di Jepang, orang menggantung kepala ikan sardin dan ranting
pohon hiiragi di atas pintu rumah.Tradisi tersebut dilakukan untuk mengusir oni
yang dipercaya lahir pada hari setsubun.
SETSUBUN MATSURI
Makalah ini dibuat sebagai tugas
Ujian Tengah Semester Ganjil 2013/2014

DI SUSUN OLEH
Arini
Ambarwati
(105110201111066)
JURUSAN BAHASA dan SASTRA
PROGRAM STUDI SI SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
DAFTAR PUSTAKA
Lawanda, Ike iswari.
2004. Matsuri, Jakarta Selatan : Wedatama
Widyatama Sastra
http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2008-2-00319-JP%20Bab%204.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar